banner 970x250

Astungkara, Sebuah Kreativitas Untuk Identitas Hindu

Om Kara
Dibaca: OUM KARA

Oleh: I Nyoman Tika

Salam Om Swastyastu, namaste, dan Astungkara, ditutup dengan Om shanti-Shanti-Shnati, Om, merupakan doa mantra pendek, ringkas dan padat, yang sering diucapkan untuk mengaitkan Tuhan yang Maha suci dengan aktivitas manusia Hindu. Maraknya pengucapan salam itu dapat dimaknai dari dua aspek, pertama aspek spiritual, dan kedua, aspek politis identitas. Mengapa pengucapan itu terkesan masih ragu-ragu?

Pengucapan salam dalam mengawali kegiatan, semakin merasuk di ranah formal, tutur bahasa yang keluar sebagai bunga pidato dan juga sambutan para pejabat Hindu, seakan tidak bisa dibendung, tetapi para pejabat Hindu, akan dengan fasih mengucapkan Om Swastyastu mana kala audiensnya mayoritas Hindu, dan kerap tak muncul ketika audiens itu sebaliknya. Ada atau tidak audiens Hindu harus diucapkan dengan yakin, karena kata itu adalah kata-kata magis yang mengandung vibrasi spiritual tinggi. Sebuah mantra yang manjur dan sidhi. Doa-doa ini bisa diteliti, analog dengan eksperimen Masaru Emoto, yang meneliti doa dengan bentuk kristal air. Sederetan mantra, nampaknya bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap kristal air, sehingga penggunaan kata semacam Astungkara, akan terkuatkan penggunaannya karena terbukti secara ilmiah.

Kajian secara teoritis ucapan itu termuat tertuang dalam Weda, misalnya Astungkara. Asal usul Astungkara berasal dari bahasa Sansekerta (yang berkata ”astu”) mengakui, mengiyakan dengan segan, “perkataan astu”. Kata Astungkara termuat dalam Atarwa Veda (9.4 ) (Zoemulder, Kamus Jawa Kuna, 1995). Kata astu artinya semoga terjadi (ibid, 73). Pada umumnya kata-kata pilihan dalam Atarwa Weda adalah kata-kata keramat, yang menjadi ispirasi para resi ketika menerima wahyu. Itu sebabnya, bagi seseorang yang sering mengucapkan Astungkara merupakan sabda suci, dengan mengaitkan bayu, sabda dan idep. Konsep pengucapan astungkara adalah untuk menghadirkan kekuasaan Tuhan yang tidak terhingga dan tak terbatas dalam setiap keanekaragaman sangat besar yang kita saksikan bila memandang jagat raya ini, hal yang sama juga terjadi pada kata Swastyastu, namaste dan parama shanti.

Ucapan itu adalah suatu cara untuk membuat diri manusia berada dalam vibrasi ketuhanan. Karena badan ini memang mengikat atma. Atma memiliki kerinduan untuk selalu mencari sumbernya Tuhan sang Maha pencipta. Salam – doa itu adalah bentuk kerinduan untuk kehadiran Hyang Widhi, karena di sanalah deburan nafas-nafas bakti dilantunkan sebagai bentuk sradha, untuk menggapai wilayah Tuhan yang Agung. Kondisi sebagai manusia beragama yang tulus memunculkan pikiran perkataan dan perbuatan. Tak bisa dipungkiri bahwa ucapan suci muncul dalam bentuk doa, yang mengkaitkan antara vibrasi diri dengan vibrasi ilahi, dalam bentuk salam, Om Swastyastu, selamat sore, dan doa pengharapan Astungkara, untuk menjadikan semua karya dan karsa menjadi milik Tuhan

Lalu, pengucapan Astungkara yang nampaknya semakin akrab di telinga umat Hindu, adalah doa pengharapan dan pemanis pembicaraan agar ada vibrasi spiritual Hindu. Dalam konteks kenegaraan nampaknya Hindu, bisa jadi terkesan latah, dan meniru-niru apa yang ada dalam tradisi berbicara umat lain. Namun kenyataannya memang tradisi Weda telah ada sejak dulu, namun umat Hindu di Indonesia jarang menganggap itu tidak penting. Meniru dan menambahi adalah pola berpikir progresif yang maju. Itu sebabnya Astungkara dan salam untuk umat Hindu, menjadi identitas yang menarik dalam konteks membangun pendidikan multikultur di negara ini.

Identitas semakin menyemarakkan multikulturisme di tanah air yang saat ini semakin sepi di tataran tindakan. Oleh karena itu, salam, pakaian dan nilai Hindu harus terus digunakan agar memperkaya kasanah multikultur keindonesiaan. Tentu teramat jarang dalam interaksi berbicara di tingkat nasional kita mendengar ucapan Om Swastyastu, karena salam seperti itu, selain tidak diketahui, juga umat Hindu belum begitu pasih, masih sungkan untuk menucapkannya. Saya hanya mendengar sangat jelas ketika salah satu DPD Bali, I Wayan Sudirta, S.H mengucapkan Om Swastyastu mengawali membuka saat berbicara pada rapat, tentu yang lainnya bertanya, kemudian beliau menjelaskan dengan gamblang makna ucapan tersebut.

Globalisasi dan Identitas etnosentris
Penguatan salam khas Hindu, bagi umat Hindu menjadi keharusan, karena budaya globalisasi membutuhkan penguatan identitas kelompok agar bisa ikut mewarnai keanekaragaman global. Secara sederhana globalisasi dapat dipahami sebagai proses Westernisasi, di mana arus globalisasi akan menghancurkan integritas budaya negara lain karena globalisasi dianggap sangat represif, eksploitatif, dan berbahaya bagi semua orang. Menurut Widen (2001) konsep globalisasi dapat dipahami melalui berbagai peristiwa sejarah yang meningkatkan arus globalisasi itu sendiri, seperti: (1) ekspansi Eropa dengan navigasi perdagangan; (2) revolusi industri yang mendorong pencarian tempat pemasaran hasil industrinya; (3) pertumbuhan kolonialisme dan imperialisme; (4) pertumbuhan kapitalisme; (5) perkembangan revolusi teknologi dan informasi; (6) persebaran ideologi universal seperti HAM, kebebasan, kesejahteraan, toleransi, kesehatan, pendidikan, agama, demokrasi, dan harga diri; (7) mobilitas manusia ke berbagai penjuru dunia.

Salah satu dampak globalisasi yang ingin ditampilkan di sini adalah semakin mengentalnya faham etnosentrisme akibat menguatnya identitas kelompok berupa identitas etnik dan identitas agama sebagai akibat dari kurang siapnya kita menerima dan memahmi keberagaman yang semakin kompleks. Etnosentrisme adalah suatu faham yang memberi penilaian negatif terhadap semua budaya di luar kebudayaan sendiri, atau hanya mengagungkan kebudayaan sendiri dan merendahkan kebudayaan lain. Faham seperti ini sudah tidak cocok lagi dalam negara demokrasi dan masyarakat multikultural karena akan memicu berbagai konflik sosial dan mendorong terjadinya disintegrasi suku bangsa. Menurut De Fluer(1993); Robbins (1997); dan Raymond Scupin (1995) menguatnya Faham Etnosentrisme umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu; (a) terbatasnya pengetahuan atau wawasan seseorang terhadap dunia luar kelompok etnisnya; (b) rendahnya tingkat pendidikan seseorang sehingga ia tidak mampu mengembangkan cara berpikir kritis, apa yang ia dengar dan ia terima selalu benar adanya, (c) tertutupnya suatu kelompok etnik terhadap pengaruh dunia luar, dan (d) kuatnya indoktrinasi dari pemimpin kelompok etnis/kelompok agama tertentu.

Ketika percaturan makna spirit dan politik identitas dibutuhkan tentang sesuatu yang perlu menguatkan kasanah kebinekaan dan keyakinan akan agama, maka beragama dengan benar sesuai dengan kitab suci itu perlu direvitalisasi. Tak ada yang keliru bila sepotong bait, Astungkara itu, kita selalu mengharapkan kehadiran Tuhan dalam bentuk kesadaran yang tinggi, kita juga sadar bahwa dalam bathin kita bisa mampir pemahaman bahwa bagian jagat raya yang kasat mata manusia ini hanya merupakan bagian yang amat kecil dari kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas.

Seluruh alam seakan-akan merupakan sebagian kecil saja dari kaki Yang Mahakuasa. Tidak mungkinlah manusia mampu memahami kebesaran Tuhan. Ia memenuhi seluruh alam raya, baik yang kasat mata maupun yang halus. Tidak ada tempat tanpa kehadiran-Nya. Inilah Gita, disebut sebagai wujud Matkarmakrit, Bekerjalah untuk Aku! Artinya, manusia harus sadar bahwa dirinya harus mengerti bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan di dunia ini, hal itu telah terkait dengan Tuhan, karena Ia-lah penguasa tertinggi di dunia. Dengan mengetahui kebenaran ini, anggaplah setiap kegiatan yang kita kerjakan sebagai kita lakukan langsung untuk Tuhan. Kedua yaitu, perbuatan itu adalah (Matparamo). Semata-mata demi Aku! Dengan kata lain, apa pun yang dikerjakan tidak kau lakukan untuk kebaikan dirimu sendiri.

Dentangan spiritual dari ucapan bibir manis akan menangkap tahap ketiga Yoga seperti dalam B.Githa, yakni Berbaktilah hanya kepada-Ku! (Matbhaktaha). Prinsip kasih yang memancar dari lubuk hati ini harus menjiwai setiap perbuatan, perkataan, dan pikiran. Pada tataran itulah lantunan sepotong salam, Om Swastyastu, Astungkara dan lain-lain hadir sebagai bentuk bekerja untuk Tuhan.

Kesimpulannya adalah salam khas Hindu akan memperkuat ideologi multikulturalisme, yang merupakan suatu kebijakan dan pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan saling menghormati di antara kelompok-kelompok budaya dalam suatu masyarakat.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang ideal di mana kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup secara harmonis, bebas untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan agama, linguistik atau sosial, persamaan dalam hal akses sumber daya dan pelayanan, hak-hak sipil, kekuatan politis, dan lain-lain (Dufty, 1986). Secara sederhana multikulturalisme tidak hanya berarti keberagaman budaya, tapi yang termat penting adalah adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan masyarakat adalah beragam dan majemuk. Makna pengakuan dan penghargaan di sini adalah kemampuan melihat bahwa berbagai perbedaan unsur budaya itu adalah suatu realitas yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan baukanlah suatu hal yang negatif, tapi sebaliknya memberikan pengaruh positif agar kita mampu menjadi manusia multikultural. Semoga pikiran baik datang dari segala arah. Om Nama Siwaya.

Sumber: Majalahhinduraditya.blogspot.com

banner 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *